Ini adalah tahun pertama aku menjalani puasa
Ramadhan bersama keluarga setelah 4 tahun berada di kota rantau.
Rasanya berbeda sekali. Kalau dulu waktu masih kos di Surabaya setiap sahur harus bangun sendiri dan jika telat benar-benar harus menerima konsekuensi tidak sahur, sekarang masalah itu sudah teratasi. Di rumah setiap sahur pasti di bangunkan oleh teriakan ibu yang lebih ampuh dari jam weker buatan negara manapun. Satu teriakan bisa membuat seisi rumah terbangun. Haha canggih bukan. Namun seindah apapun momen yang sekarang aku dapatkan di bulan puasa, tetap tidak bisa mengobati rasa rinduku pada momen puasa belasan tahun lalu. Rasanya dulu itu semarak sekali. Orang-orang menyambutnya dengan suka cita. Semua bergembira. Setiap kampung menunjukkan gegap gempita menyambut bulan yang suci dan penuh berkah ini. Suasana pun benar-benar berbeda. Sangat terasa nuansa ramadhannya. Bahkan belum ada dua minggu puasa sudah ada yang mulai sibuk membuat jajanan hari raya. Sekarang semua momen itu sudah hilang. Masyarakat tidak semeriah dulu dalam menyambut bulan puasa. Seperti tidak ada perbedaan antara puasa dan tidak puasa. Suasana bulan puasa tidak terasa lagi. Mungkin perbedaan yang paling kentara antara bulan ramadhan dan bukan hanya terlihat dari masjid dan mushola yang mendadak penuh dan suara tadarus yang terus mengalun dari speker-speker di seluruh mushola dan masjid. Selebihnya semuanya hambar. Kosong.
Rasanya berbeda sekali. Kalau dulu waktu masih kos di Surabaya setiap sahur harus bangun sendiri dan jika telat benar-benar harus menerima konsekuensi tidak sahur, sekarang masalah itu sudah teratasi. Di rumah setiap sahur pasti di bangunkan oleh teriakan ibu yang lebih ampuh dari jam weker buatan negara manapun. Satu teriakan bisa membuat seisi rumah terbangun. Haha canggih bukan. Namun seindah apapun momen yang sekarang aku dapatkan di bulan puasa, tetap tidak bisa mengobati rasa rinduku pada momen puasa belasan tahun lalu. Rasanya dulu itu semarak sekali. Orang-orang menyambutnya dengan suka cita. Semua bergembira. Setiap kampung menunjukkan gegap gempita menyambut bulan yang suci dan penuh berkah ini. Suasana pun benar-benar berbeda. Sangat terasa nuansa ramadhannya. Bahkan belum ada dua minggu puasa sudah ada yang mulai sibuk membuat jajanan hari raya. Sekarang semua momen itu sudah hilang. Masyarakat tidak semeriah dulu dalam menyambut bulan puasa. Seperti tidak ada perbedaan antara puasa dan tidak puasa. Suasana bulan puasa tidak terasa lagi. Mungkin perbedaan yang paling kentara antara bulan ramadhan dan bukan hanya terlihat dari masjid dan mushola yang mendadak penuh dan suara tadarus yang terus mengalun dari speker-speker di seluruh mushola dan masjid. Selebihnya semuanya hambar. Kosong.
Tak jauh berbeda dengan bulan puasa, lebaran pun tak
semeriah dulu. Kalau dulu H-7 semua ibu-ibu dan mbak-mbak sudah benar-benar
repot membuat jajanan lebaran, menyiapkan segala macam pernak-pernik lebaran, sekarang momen itu benar-benar hilang sama
sekali. Mungkin ada satu dua yang masih repot membuat jajanan sendiri dan sibuk
menyiapkan tetek bengek untuk lebaran, tapi selebihnya lebih memilih ke
swalayan membeli jajan kalengan atau toplesan. Atau bahkan masih belum membeli
jajan lebaran sama sekali padahal lebaran tinggal menghitung hari?
Dulu juga jalan raya sangat ramai pada saat lebaran,
banyak kerabat dekat ataupun saudara yang berbondong-bondong ke rumah
saudaranya yang lebih tua untuk bersilaturahmi sekaligus bermaaf-maafan,
sekarang hal itu sepertinya sudah mulai hilang. Jalan raya di dekat rumah terasa
lebih lenggang. Intensitas pengendara yang lewat pun bisa dihitung. Intinya
masyarakat tak seantusias belasan tahun lalu dalam menyambut hari raya umat
islam tersebut. Sepertinya bulan ramadhan dan lebaran beberapa tahun ini sudah
kehilangan maknanya, atau mungkin aku sendiri yang sudah kehilangan makna
lebaran itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar