Sabtu, 11 April 2020

Muse, seberapa pentingkah untuk penulis?



Kali ini saya ingin membahas sedikit mengenai Muse, bukan Muse band asal inggris itu, namun sebuah sumber inspirasi. Muse sebenarnya lebih popular di kalangan para perancang busana (seperti yang diceritakan di film Paradise Kiss).
Sebut saja Hubert de Givenchy, pemilik label Givenchy. Dia bertemu dengan Musenya, Audrey Hepburn saat sang aktris berkunjung ke studionya saat dia hendak membintangi film Shabrina yang tayang pada tahun 1954. Awalnya Givenchy enggan membuatkan kostum khusus untuk Hepburn, karena dia sedang sibuk merancang koleksi, namun kemudian Hepburn meminta menunjukkan busana yang telah dibuatnya, gaun itu kemudian di modifikasi oleh Givenchy. Kerjasama mereka akhirnya berlanjut, Givenchy menjadi perancang kostum dari tujuh film Hepburn.

Selain perancang busana, Muse ternyata juga berlaku untuk setiap pekerja kreatif, seperti fotografer, pelukis bahkan pencipta lagu. Lalu bagaimana dengan penulis? Tentu saja penulis juga memiliki Muse dalam setiap tulisannya, sebut saja Ika Natassa, dia selalu menjadikan Banker dan tokoh laki-laki sempurna sebagai Muse dalam setiap karyanya, lain lagi dengan Mira W dan Marga T yang menjadikan  profesi dokter sebagai tokoh dalam karya mereka. 

Setiap penulis pasti memiliki Musenya masing-masing, entah itu dalam bentuk manusia atau wujud lain, mungkin hujan, pelangi atau mentari, namun kebanyakan Muse dalam wujud manusia, biasanya yang berprofesi bagus, entah model, dokter, CEO, atau pekerja lain dengan tariff gaji yang tinggi,  atau kalau bukan dari kalangan pekerja dengan gaji tinggi, biasanya adalah kalangan yang bekerja di dunia seni, entah artis, pemain band, pelukis, penyanyi atau pekerja di industry seni yang lain.

Lain lagi dengan novel teenlit, kebanyakan di novel teenlit Muse nya adalah atlit, sebut saja pemain basket atau atlit renang,  jarang sekali Muse dari bidang olahraga bola volley atau cabang lari. Dan karena Muse pemain basket ini, banyak anak SMA yang jadi berminat ke olahraga basket, selain itu juga menimbulkan efek kehaluan ingin memiliki kekasih seorang pemain basket, seperti saya ketika masa SMA. 

Lalu seberapa penting Muse untuk penulis itu? Jawabannya adalah penting sekali. Tanpa adanya Muse kita akan mengalami writer’s block atau kebuntuan dalam menulis, seperti kisah di Novel The Architecture of Love karya Ika Natassa. Disini jelas sekali bagaimana seorang penulis itu memerlukan Muse untuk setiap tulisannya. Sebut saja tokoh Raia, perceraian dengan suaminya membuat Raia kehilangan Muse dalam menulis, sehingga dia mengalami kebuntuan menulis selama berbulan bulan dan tidak menghasilkan satu karya apapun. Dia bahkan sampai pergi ke New York hanya untuk menemukan Musenya kembali, tentu saja dia tidak semudah itu dalam menemukan Musenya kembali, dia harus melewati beberapa musim dan kejadian hingga menemukan Muse itu.

 Muse bagi penulis sama dengan Muse bagi perancang baju. Dia lah sumber patokan, sumber inspirasi, ide bagi terlahirnya sebuah karya. Tanpa Muse, seorang penulis ibarat Kapal kehilangan kaptennya,  GPS kehilangan jaringannya, dan anak ayam kehilangan induknya.

Proses penemuan Muse bagi setiap penulis tentu berbeda antara penulis satu dengan penulis lain. Raia di novel The Architecture of love menemukan Muse setelah dia berkenalan dengan laki-laki bernama River di sebuah pesta perayaan tahun baru, Kugy di novel Perahu Kertas menemukan Muse untuk cerita dongengnya setelah dia berkenalan dengan Pilik di sekolah asuh, Lexie Xu menemukan Muse saat di sedang bermain game horror bersama anaknya. Muse bisa ditemukan dimana saja dan kapan saja. Bergantung kita, apakah hendak mencarinya atau membiarkannya tergeletak di suatu tempat dan terus menunggu untuk ditemukan.

Lalu, siapakah Muse, sumber inspirasi itu dalam karya saya? :-).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar